Kota Balikpapan memang menyimpan sejarah kelam yang nyaris tidak pernah tercatat dalam lembar sejarah Indonesia, mungkin karena korbannya bukan orang Indonesia.
Sejarah pembantaian Jepang yang mengeksekusi sedikitnya 78 orang Belanda di tempat yang bernama Kelandasan (Klandasan), tercatat sebagai salah satu sejarah kelam yang pernah terjadi di Balikpapan. Sebuah kekejaman perang yang terkait dengan perebutan ladang minyak oleh Jepang dari tangan Belanda.
Sebelum menyerbu Balikpapan, Jepang lebih dulu menggempur Tarakan yang mereka bom hampir setiap hari, sehingga kapal-kapal KPM (Kominklijke Paketvaart Maatschappij), dimulai dengan kapal KPM Lengkuas terkena torpedo dan tenggelam. Pada 10 Januari 1942 armada kapal perang dalam jumlah besar, armada gugus Timur Angkatan Laut kekaisaran Jepang yang dikomandani Laksamana Madya Takahashi di beberapa lepas pantai Tarakan. Gugus ini menyerahkan pasukan dengan 6 kapal penjelajah cepat, beberapa buah torpedo, 22 buah kapal pendarat dan beberapa buah kapal perbekalan.
Pesawat pemburu Brewster Belanda yang cuma empat buah di Tarakan tidak mampu menghadapi kegesitan pesawat Jepang. Pulau Tarakan yang kaya minyak ini hanya memiliki satu batalyon infantry KNIL yang sudah patah semangat, satu Detasemen Kavaleri dan 7 buah kendaraan lapis baja dengan hanya beberapa puluh milisi wajib militer ahli bahan peledak yang dimobilisasi dari buruh BPM.
Panglima Angkatan Laut Belanda Laksamana Heelfrich tidak mampu menahan serbuan Jepang. Tanggal 11 Januari 1942 Tarakan direbut Jepang dari genggaman kekuasan Belanda. Tetapi setelah Jepang merebut Kota Tarakan, mereka gondok bukan kepalang melihat kenyataan ladang minyak Tarakan sudah luluh lantak dihancurkan oleh Belanda sebelum Jepang datang. Padahal berikutnya Jepang berencana merebut Kota Balikpapan. Jangan jangan ladang minyak Balikpapan juga akan dibumihanguskan oleh Belanda. Maka, dua orang kapten Belanda yang tertangkap di Tarakan, Kapten GL Reinderhoff dan Kapten AH Colijn dikirim ke Balikpapan pada 20 Januari 1942 dengan membawa surat ultimaltum yang bunyinya: “Jika Belanda berani merusak fasilitas ladang minyak Balikpapan dan sekitarnya, maka semua komandan, prajurit prajurit dan yang terkait akan dibunuh tanpa terkecuali…”
Begitu menerima surat ancaman, wajah komandan KNIL Letkol C van Den Hoogenband memerah, rahangnya bergeletuk menahan marah. Sekujur tubuh lelaki bermata biru itu bergetar hebat. Ia tidak bisa menerima ancaman itu. Sang komandan KNIL itu malah memerintahkan untuk membakar seluruh fasilitas ladang minyak Balikpapan.
Dan ketika akhirnya pasukan Jepang dibawah komandan Mayjen Shizuo Sakaguchi benar-benar menyerang dan merebut Balikpapan pada 23 Januari 1942, tiada ampun lagi semua bangsa Belanda yang tertangkap lalu dikumpulkan dan ditahan dan diperlakukan dengan semena mena. Sebagian besar lainnya memang sudah diungsikan ke luar daerah oleh Letkol Hoogenband. Bahkan Kapten Reinderhoff dan Kapten Colijn malah disuruh ke Jawa, alih-alih kembali ke Tarakan untuk memenuhi janjinya melapor kepada Jepang yang menangkapnya.
Hingga akhirnya tibalah pada suatu pagi di tepian pantai, diperkirakan tanggal 24 Februari 1942, Jepang menggiring tangkapan Belandanya yang antara lain terdiri dari pegawai sipil, petugas medis, pendeta, pasien rumah sakit, inspektur polisi, tentara dan sekelompok tahanan perang lainnya,total jenderal ada sekitar 78 orang.
Mereka digiring dalam keadaan terikat di bawah kawalan ketat tentara Jepang dengan menodongkan senjatanya. Tahanan-tahanan itu digiring bagaikan sekelompok domba yang tanpa daya. Kemudian satu demi satu tawanan itu didor tanpa perlawanan, tubuh-tubuh itu pun tumbang tertembus peluru. Prosesi pembantaian itupun selesai dalam tempo sekitar dua jam. Pada hari pembantaian itu, orang orang kampung dikumpulkan dan dipaksa menyaksikan eksekusi biadab itu!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar