"Setelah jadi kota minyak,
Balikpapan pun jadi kota tangsi"
Balikpapan pun mulai
jadi kota tangsi setelah tentara Belanda pergi. Mayor Waluyo
Puspoyudo adalah komandan militer RI pertama yang sampai Balikpapan.
Setelah tentara Belanda pergi Balikpapan mulai dibangun banyak instalasi
militer. Entah berupa kantor, gudang amunisi, tempat latihan tentara atau
perumahan bagi tentara.
Balikpapan kemudian
menjadi pusat atau markas dari apa yang disebut Komando Daerah Militer (KODAM).
Mulai dari KODAM Mulawarman yang hanya membawahi Kalimantan Timur dan terakhir
adalah KODAM Tanjungpura yang menaungi keamanan seluruh Kalimantan.
Banyak instalasi militer TNI di
Balikpapan. Bekas tangsi KNIL sudah tidak ada lagi. Markas besar tentara
(MAKODAM) lalu dibangun di sekitar Klandasan, tidak jauh dari Lapangan Merdeka
dan Rumah Sakit Pertamina.
Semasa Jenderal Hartoyo menjadi
Panglima KODAM Mulawarman, BPM Shell sedang membangun pipa sepanjang kurang
lebih 300KM dari Tanjung ke Balikpapan. Tenaga kerja yang dipakai adalah
para transmigran yang didatangkan oleh Jawatan Transmigrasi dari Jawa
Tengah. Ketika mereka berangkat, mereka dijanjikan lahan (tanah).
Sialnya, pejabat-pejabat korup Jawatan Transmigrasi kemudian menelantarkan
mereka. Selesai proyek, pekerja yang tinggal di kamp Petung itu. Jumlahnya
hampir seribuan. Keterlantaran membuat mereka jadi pengemis dan
membanjiri kota Balikpapan. Mereka disebut Pengemis Petung.[1]
Fenomena ini terjadi sekitar tahun
1950an.
Semasa Kecik, seorang Insinyur
Belanda yang mengajar di ITB, pernah akan menuju ke Balikpapan untuk
menyelidiki kemungkinan pengeboran airtawar untuk kebutuhan air
bersih kota Balikpapan. Kecik menyetujui rencana itu. Insinyur itu
menumpang sebuah pesawat Garuda dari Jakarta ke Balikpapan.
Sayangnya pesawat garuda itu kemudian tak pernah sampai Balikpapan. Pesawat itu
kemudian hilang. Beberapa perwira TNI, kepala percetakan Negara Balikpapan dan
orang sipil lainnya pun hilang dalam pesawat itu. Hario Kecik yang semula akan
menumpang pesawat itu membatalkannya. Dia naik mobil ke Surabaya lalu naik
pesawat ke Balikpapan.[2]
Pengakuan kecik:
“Kantor besar perusahaan (minyak
asing) raksasa internasional ini terletak di Balikpapan, meradiasikan pengaruh
besar kepada kehidupan sosial ekonomi dan politik dari masyarakat Kalimantan
timur. Markas KODAM IX Mulawarman juga berada di Balikpapan dan berdasarkan
prinsip militer, sebuah markas komando harus ditempatkan di lokasi yang aman,
agar dapat efisien dipertahankan dan memenuhi tuntutan lain bersifat militer.
Markas KODAM tidak dapat dipindahkan ke tempat lain, bukan hanya karena masalah
kesulitan teknis dan keuangan tetapi juga karena pertimbangan strategis,
politis dan psikologis. Jadi harus dicari alternative tindakan yang dapat
menjamin tuntutan tersebut di atas.[3]
Mengenai komplek perusahaan
minyak asing di Balikpapan, Kecik menulis:
“Suatu masyarakat tersendiri
dengan fasilitas-fasilitas mewah seperti klub, bioskop, kolam renang, lapangan
golf, toserba, dan lain-lainnya. Dalam masyarakat seperti itu para pegawai
menengah dan tinggi, asing maupun pribumi, hidup dalam suasana istimewa
terlepas dari masyarakat biasa yang mengelilinginya.”[4]
Pernah terjadi kematian pekerja
karena terlindas mobil pengendara bule, tapi orang bule itu bebas dari tuntutan
hukum karena masih orang perusahaan asing.
Ada toko Centraal inkoop &
verkoop Organisasaties yang menjual barang-barang impor untuk keperluan
pegaawai tinggi perusahaan. Barang-barang import ini masuk tanpa pajak.[5]
Kepada Brigadir Jenderal
Soemitro—yang baru ditunjuk sebagai Panglima KODAM Mulawarman—Sukarno berujar:
“Generaal Mitro, saya titip reffinaderij (kilang minyak) yang ada disana.
Jagalah baik-baik!” Sumitro, dengan sepenuh hati lalu menjawab: “Baik, pak.
Akan saya perhatikan.” Amanah Sukarno itu dijalankan Sumitro dengan menjaga
stabilitas kota Balikpapan ditengah pusaran politik nasional yang kian memanas
pada dekade 1960an itu. Soemitro juga tidak ragu untuk turun langsung
berpatroli menjaga kilang minyak yang diamanahkan Panglima besar Revolusi
kepadanya. Soemitro sendiri sering berkeliling di sekitar kilang minyak pada
malam hari. Soemitro menjaga agar panas-nya situasi politik nasional tidak
sampai membakar Balikpapan.[6]
Atas usaha Sumitro, kota
Balikpapan masih dianggap nyaman pada pertengahan dekade 1960an yang kacau.
Balikpapan terhindar untuk menjadi ladang pembantaian orang-orang Komunis
seperti yang terjadi di Jawa dan Bali—dimana telah memakan banyak korban yang
mencapai angka ratusan ribu. Orang-orang Komunis, oleh Sumitro ditahan sebelum
meletus G 30 S di Jakarta. Orang-orang Komunis itu banyak yang dilokalisasikan
di Samboja dalam di dekat pantai.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar