Rumah Diatas
Kuburan
Sapar duduk telanjang dada di depan musholla Jabal Rahmah, di rt 38 kelurahan prapatan awal januari lalu. Sebatang rokok kretek terselip dijarinya, ia menghisapnya dalam dan menghembuskan asap keluar.
Saya duduk disebelahnya, tangannya yang kekar menggambarkan betapa keras kehidupan yang dijalaninya. Sapar, lelaki kelahiran Balikpapan 17 Januari 1960 termasuk warga lama yang tinggal di Kelurahan Prapatan. Ia lahir dan menjadi dewasa hingga berkeluarga serta memomong cucu disana.
"Wajah Prapatan sudah berubah total," kata Sapar. Pikirannya kemudian kembali ke beberapa puluh tahun silam, ia menceritakan bahwa rumah-rumah yang berjejal di kawasan prapatan dibangun diatas tulang belulang orang Cina dan Belanda. khususnya dari depan Gereja Theresia hingga di rt 38 daerah paling puncak.
Seingat Sapar, sebelum menjadi pemukiman seperti sekarang, kawasan rt 38 dulunya merupakan areal pekuburan warga keturunan China, jumlahnya ribuan dan bangunannya begitu megah. sementara di rt 25, merupakan areal pekuburan tentara Belanda.
Hanya ada tiga jenis tumbuhan yang hidup di areal pekuburan tersebut, yaitu pohon jambu mente, bunga kemboja dan alang-alang yang tingginya bisa mencapai dua kali tinggi manusia.
Ketiak tahun 70-an ayah Sapar dan pamannya bertugas sebagai juru kunci makam, mereka juga tukang gali kubur bila ada keluarga keturunan Cina meninggal dunia. "Upahnya lumayan buat makan, satu kali gali bisa 50 ribu zaman dulu," kenang Sapar.
Ayah Sapar sendiri pernah pernah bekerja di perusahaan minyak Permina (Sekarang Pertamina) UP V Balikpapan, sebelum berhenti dan memilih kerja kepada swasta dan akhirnya bekerja kepada Jepang untuk membuat sumur minyak di daerah kelurahan samboja yang kini masuk wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara.
Nama Samboja sendiri, kata Sapar, aslinya adalah San Bo Jai bahasa yang digunakan tentara Jepang. Nama itu muncul karena ketika itu jepang tidak memberi makan para pekerjanya termasuk ayah Sapar, sehingga disebut San Bo Jai yang artinya tidak makan tiga hari. Lambat laun, istilah tersebut menjadi nama daerah dan sumur minyak yang dibuat hingga kini masih beroperasi.
Sapar mengaku, rumah yang ditempatinya kini, bersama tiga anaknya merupakan rumah pertama di Rt 38, dulu bentuknya hanya gubuk kayu, ia dibuat hanyalah untuk tempat peristirahatan.
Namun ketika tahun 1983, perumahan mulai muncul seiring besarnya arus transmigrasi warga dari pulau Jawa. Mereka mulai melakukan pembangunan rumah di areal kuburan Belanda dan dengan cepat menyebar ke areal kuburan cina. Sapar mengaku tidak tahu pasti kemana tulang belulang tentara belanda itu dipindahkan.
Menurut Sapar, sejak pembangunan rumah kian marak, banyak warga keturunan cina yang memilih membongkar dan memindahkan kuburan leluhur mereka ke daerah Kilo Meter 15 Kecamatan Balikpapan Utara. Sapar mengaku ketika usianya baru sekitar 19 tahun. ia memamfaatkan momentum itu untuk bekerja sebagai pembongkar kuburan, satu kuburan di upah sekitar 50 hingga 100 ribu rupiah.
Tidak jelas bagaimana warga memperoleh tanah di areal pekuburan tersebut, yang Sapar tahu, lambat tapi pasti areal pekuburan itu disulap menjadi rumah sedikit demi sedikit.
Saya mengunjungi daerah Prapatan dan berkeliling, saya tidak lagi melihat ejak atau sisa pekuburan disana, semua sudah “disulap” menjadi pemukiman padat pemduduk. Hanya ada empat kuburan Cina yang masih tersisa, kuburan itu tidak dibongkar karena para keluarganya masih rutin melakukan sembahyang sekali atau dua kali setahun.
Untuk menjamin keamanan leluhurnya, biasanya mereka memberi sedekah uang kepada warga sekitar dengan meminta agar kuburan leleuhurnya tidak dibongkar. Sementara untuk kuburan Belanda tak satu pun tersisa, diatasnya telah beridi Puskemas, Musholla dan rumah penduduk, padahal kono, disana terkubur beberapa Jendral yang ikut menjajah Indonesia.
Sumber : Oleh: Musthofa Bisri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar